Tradisi Jeng Nabi Muhammad SAW di Bulan Suci
Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia, yang di anugrahkan oleh sang maha mulia, diperuntukkan untuk hamba yang mulia supaya mendapatkan kemuliaan, sebagaimana disebut dalam al-Qur’an “supaya kamu semua menjadi orang yang bertaqwa”(Al-Qur’an, 2, 183). Idiom taqwa adalah ungkapan teologis ajaran Islam sebagai manifestasi kepatuhan seorang hamba Allah kepada semua perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Demikian para mufasir biasanya memberikan pengertian tentang taqwa. Derajat taqwa ini menjadi idealism setiap muslim untuk mencapainya, baik dia seorang ilmuwan, orang awam, rakyat biasa atau pejabat, semua menginginkan sebutan menjadi orang yang bertaqwa. Hanya saja kata taqwa nampaknya sebagai istilah yang abstrak, belum nyata dalam perbuatan muslim sehari-hari. Apakah orang yang bertaqwa diukur dengan kerajinan seseorang dalam menjalankan ibadah sholatnya, ibadah iktikafnya, ibadah zakatnya, seringnya seseorang melaksanakan umrah atau haji, atau ibadah-ibadah lain yang diukur dengan kuantitatif.
Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Pada saat puasa di bulan suci ramadhan, yang dikisahkan oleh Aisyah Ra. Di beberapa kitab Hadits mengatakan, Pertama Nabi Saw. mengencangkan ikat pinggang (syadda mi’zarahu). Artinya pada saat bulan Ramadhan Rasulullah mengurangi aktifitas berkumpulnya suami istri. Sebagaimana tujuan berpuasa adalah mengendalikan nafsu seorang muslim, maka ketika seorang muslim menjalankan ibadah puasa Ramadhan, saat itu juga dia belajar untuk mengekang nafsu biologisnya. Pada siang hari seseorang sudah mengekang syahwat makan, minum dan kebutuhan jasmani lainnya, maka seiring dengan itu dia juga mengekang syahwat biologisnya agar sempurna kendali nafsu yang dihasilkan dari proses berpuasannya. Jangan sampai seseorang dapat mengendalikan syahwat hanya disiang hari saja, tetapi ketika di malam hari tidak dapat terkendali, ini berarti puasanya belum sukses untuk menjadikan seorang berpuasa dapat mengekang nafsunya secara totalitas, untuk menghamba, patuh ke dalam perintah-perintah sang maha mulia.
Kedua, Nabi selalu menghidupkan Malam di bulan Ramadhan (Ahya Laylahu). Nabi Saw selalu mengisi malam bulan ramadhan dengan berbagai aktifitas ibadah. Setelah beliau dapat mengurangi atau mengendalikan nafsu biologisnya, maka pada malam hari diisi dengan bermunajat kepada Allah Swt. Ibadah-ibadah malam pada saat itu selalu menghiasi malamnya Rasulullah. Mulai shalat sunnah, iktikaf, dhikir, membincangkan perjuangan Islam, diskusi keilmuan dan nasib umat Islam Bersama-sama sahabat, memperbanyak shodaqah dan lain sebagainya, yang biasannya kita ketahui sebagai ibadah tambahan. Karena Muhammad adalah Nabi dan rasul maka istilah ibadah sunnah diperuntukkan untuk umatnya, tetapi untuk rasulullah ibadah-ibadah tambahan itu merupakan kewajiban untuk diri beliau sendiri. Inilah kemudian dalam diskursus tafsir disebut dengan hasanatul abrar sayyiat al-muqarrabin, (perbuatan baik yang dinilai baik oleh mereka orang-orang baik, tetapi dinilai jelek untuk meninggalkannya bagi orang-orang yang dekat dengan Allah). Seperti sholat dhuha, tahajud, puasa senin kamis dan sebagainya. Ibadah-ibadah sunah ini dinilai baik untuk orang-orang yang derajatnya baik (abrar), mereka meninggalkannyapun tidak apa-apa. Tetapi bagi hamba yang dekat dengan Allah mengerjakan ibadah sunnah adalah kebutuhan atau bahkan kewajiban untuk diri mereka sendiri, dan akan bernilai jelek apabila meninggalkannya.
Ketiga, dari kebiasaan Rasulullah di bulan suci adalah adalah selalu membangunkan keluarganya (ayqadla ahlahu), untuk diajak beribadah. Nampaknya tradisi ini sudah lama dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia ini dengan kebiasannya pada tengah malam selalu membangunkan saudara, tetangganya untuk makan sahur dan ibadah sholat malam, yang kemudian disebut dengan ronda. Walaupun kegiatan ronda ini nampaknya lambat laun mengalami poenurunan kualitasnya. Kalau dulu anak-anak muda yang melksanakan ronda malam memang benar-benar mengambil hikmah kemuliaan bulan Ramadhan dan jaga malam. Tetapi sekarang makna ronda seperti kehilangan makana vitalnya sebagai sebuah ibadah kepada Allah di malam hari. Ini yang mungkin menjadi catatan kita Bersama memperbaiki kegiatan-kegiatan di bulan suci Ramadhan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Walaupun secara simbolis mungkin berbeda dikarenakan beda tempat dan waktu, tetapi makna kualitatif ibadahnya harus tetap dijaga supaya tetap menjadi tradisi muslim di manapaun dan kapanpun mereka berada.
Untuk itu yang dapat dipetik dari tradisi Rasulullah SAW di bulan Ramadhan adalah, peningkatan kualitas ibadah sebagai seorang hamba, baik kita sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat social secara umum. Lebih-lebih lagi peninkatan kualitas ibadah ini dapat dimaknai dengan menanamkan sikap untuk selalu butuh kepada Allah, dengan jalan selalu meningkatkan ibadah, tidak merasa enak akalau meninggalkan ibadah, bahkan ibadah sunnah yang bagi keumuman orang dinilai sebagai sebuah anjuran, setelah kita merasakan kebutuhan akan ibadah atau nikmatnya beribadah, maka pelaksanaan ibadah dapat menjadi sebagai sebuah kewajiban bagi kita sendiri.
0 Comments