Theologi Berdemokrasi

Published by admin on

Tulisan ini bermaksud ingin mengupas relitas kehidupan demokrasi Indonesia dengan aspek-aspek etika ke-Tuhanan yang mayoritas diyakini oleh warga bangsa Indonesia. Apalagi nilai-nilai yang berbasis keyakinan mayoritas penduduk Indonesia sesuai dengan sifat, watak, dan karakter dasar bangsa di Nusantara ini. Salah satu nilai yang begitu penting kita ungkap adalah sikap aktulisasi sabar dalam berdemokrasi di Indonesia. Istilah Sabar memang mudah untuk diucapkan, dalam bahasa Indonesia terdiri dari 5 huruf dan satu kata. Tetapi prakteknya sulit untuk di laksanakan oleh setiap insan hamba Allah. Karena sikap sabar ini berhubungan dengan totalitas manusia sebagai pribadi seorang hamba, terdiri dari anggota badan, akal fikiran dan hati. Manusia ketika berusaha untuk bersikap sabar, harus mensinergikan semua unsur kemanusiaannya tersebut dalam sebuah tindakan atau tidak bertindak dalam realitas kesehariannya. Taruhlah dalam iklim demokrasi dengan ditopang arus teknologi informasi yang begitu dinamis sekarang ini, seseorang begitu berat untuk melakukan sikap mulia ini. Sebagaimana di dijelaskan dalam al-Qur’an, yang artinya “ jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu´. (2: 45) .

Apalagi sekarang kita bangsa Indonesia yang lagi melaksanakan rutinitas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilihan umum untuk calon legislator kita dan Kepala Negara atau Pemerintahan, yang melibatkan seluruh komponen bangsa dan negara, baik dari panitia penyelenggaranya yaitu Komisi Pemilihan Umum, dari pengawasnya oleh Badan Pengawas Pemilu, rakyat yang memilih, pengurus partai politiknya, calon legislatornya dan juga calon Presiden dan Wakil Presidennya. Semua harus mempunyai sikap sabar dalam melaksanakan demokrasi ini. Kalau sikap sabar ini tidak kita tanamkan dalam sanubari kita bagaimana jadinya rutinitas demokrasi ini. Yang harus kita ingat adalah kita adalah bangsa yang berbudaya, bermartabat sejak nenek moyang kita babat (membukanya), memperjuangkan negeri dan mendirikannya ini. Mereka selalu dilandasi sikap santun, ramah, sabar, baik ketika memperjuangkan dan mendirikan negeri ini.

Mungkin kita perlu berilustrasi dan imaginasi ketika para nenek moyang kita baru babat terhadap tanah di Nusantara ini, meramaikannya sehingga bisa berbentuk sebuah bangsa walaupun masih sederhana. Kemudian bagaimana para pejuang-pejuang kemerdekaan di bumi Nusantara ini melepaskan kolonialisme para penjajah, dan bagaimana para pendahulu kita memakmurkan Nusanatara ini, pastinya dilandasi dengan sikap sabar dan kebesaran jiwa sehingga eksistensi bagsa Indonesia masih bisa kita nikmati sampai sekarang.

Maka dalam kasus pesta demokrasi ini yang harus kita ingat adalah semua yang terlibat di dalamnya adalah berusaha untuk mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia, memajukannya sehingga menjadi bangsa yang makmur dalam berbagai perspektifnya. Untuk itu dalam mengisi dan memajukan bangsa ini harus di dasari dengan sikap-sikap dan perilaku sebagaimana yang ditanamkan oleh para pendahulu kita, yakni sopan santun, ramah sumeh, sabar, gotong royong, rukun dan sebagainya. Jangan sampai idealisme para pengisi kemerdekaan ini menyebabkan elan vital dari bangsa ini tercerabut dari akarnya. Ini penting penulis ungkap di tulisan sederhana ini, karena kondisi empiris di sekitar kita dalam pesta demokrasi pemilu ini seolah-olah kok banyak hal-hal negatif yang kita lakukan sebagai anak bangsa Indoneisa tercinta ini. Sekarang banyak fitnah, kebohongan, caci maki terhadap sesama, merendahkan kepada yang lain, adu domba, egoisme, yang seolah-olah euphoria demokrasi ini kita artikulasikan sebagai manusia yang individualistic, sombong, sangar, materialistic, merasa benar sendiri, merasa sebagai makhluq yang paling dekat dengan Allah, dengan menafikan hamba Allah yang lain, seolah olah kita sebagai pemilik sorga dan yang lain adalah neraka dan sebagainya.

Penulis jadi teringat dengan senior di lembaga tempat bekerja dan mengabdi sehari-hari. Pada saat ada suatu acara, dia yang berumur 75 tahun, sudah purna tugas, tetapi ketika naik menuju tempat acara di lantai tiga, begitu ringannya, walaupun dengan tangga manual, tidak merasa berat, juga tidak ngos-ngosan. Maka sesudah sampai tempat acara, penulis ambil tempat duduk di sampingnya. Ketika kita ngobrol dengan dia saya tanya, bapak tadi naik ke tempat acara ini kok begitu ringan sekali, tidak mengeluh, padahal umur bapak sudah kepala tujuh lebih, apa kira-kira resep yang bisa ditularkan kepada saya sebagai pelajaran pengalaman yang bisa saya tiru pak? Dia menjawab singkat “ kulo mboten nate muring-muring”(saya tidak pernah marah-marah). Mendapat jawaban senior ini saya kemudian merenung, dan berkata dalam hati, inilah manusia Indonesia yang otentik sesuai dengan karakteristik manusia Indonesia. Sebuah profil manusia yang kuat dari sisi jasmani juga dari sisi rohaninya. Artinya orang kuat sebagaimana ilustrasi bapak senior tadi adalah sederhana “dia tidak pernah marah-marah”, sehingga bisa mengendalikan jiwa tadi, berimplikasi kepada kekuatan lahirnya, yang walaupun sudah tua tetapi tetap tegak berdiri, semangat untuk berjuang, dan masih bisa guyupi (kumpul-kumpul) Bersama yunior-yunior nya yang dari sisi umur jauh di bawahnya. Contoh bapak senior tadi mungkin kalau kita nukil Hadits Rasul Saw, mungkin berbunyi demikian “ laysa al-ghina an katsrat al-aradh wa lakin al-ghina ghina al-nafs”, bukanlah orang kaya itu adalah orang yang bertumpuk materi tetapi orang kaya adalah orang yang bersimpati dengan dengan hati nuraninya. Atau dawuh yang lain, laysa al-syadid bi al-shur’ah innama al-syadid yamliku nafsahu ‘inda al-ghadhab” , bukanlah orang kuat adalah diukur dengan adu badannya, tetapi orang kuat adalah yang dapat mengendalikan nafsunya ketika marah. Ini kembali lagi kepada pernyataan awal bahwa orang harus dapat mensinergikan antara akal fikirannya, hatinya dan anggota badanya sehingga dapat meng-artikulasi sabar dalam tindakannya.

Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat bersabar dalam konteks demokrasi yang baru saja kita jalankan kemarin, dan sekarang prosesnya masih berjalan?. Mungkin kita dapat mengutip teori dari al-Ghazali dalam kitab Minhaj al-Abidin, sabar ada beberapa macam di antaranya, sabar dalam menjalankan keta’atan kepada Allah. Contohnya orang dapat mempertahankan konsistensinya dalam patuh dan taat, melakukan perbuatan perbuatan baik menurut Allah, Rasulullah, dan keumuman manusia sekitar kita. Sabar dalam sholat, puasa, haji, zakat, silaturahmi, menebar kasih sayang, sabar melaksanakan tugas kewajiban sebagai pelayan masyarakat, sabar dalam mencari rizki, sabar untuk dakwah ajaran-ajaran Islam, sabar sebagai pejabat, sabar sebagai rakyat, sabar sebagai anggota keluarga, sabar dalam semua kebaikan, baik yang berdimensi kemanusiaan (insaniyah) atau dimensi keTuhanan (ilahiyah). Dalam menjalankan program demokrasi pun kita juga harus sabar, misalnya sebagai panitia pemilu, baik di level desa atau kabupaten atau bahkan Komisi Pemilihan Umum tingkat pusat juga harus bersikap sabar. Pasca coblosan ini nanti mungkin banyak komentar-komentar, kadang hujatan atau gugatan, padahal panitia sudah melaksanakannya dengan maksimal sesuai dengan kemampuan kemanusiaan kita. Maka panitia juga harus tetap konsisten (istiqomah) sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak boleh mundur, patah semangat atau putus asa. Sabar dalam hal kebaikan menjalankan kepaanitian pemilu dijalankan dengan aturan dan prosedur yang telah kita sepakati bersama, walaupun tantangan dan gangguannnya begitu berat.

Sabar katagori yang kedua adalah sabar untuk menjauhi larangan-larangan Allah (munkarat). Di sekitar kita mungkin banyak meluapkan kegembiraan dengan melampauhi batasan atau larangan Allah. Misalnya setelah kita menang, dalam alam demokrasi ini melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh Agama, negara, atau bertentangan dengan adat kebiasaan kita. Taruhlah mabuk-mabukkan, ektasi, narkoba, merendahkan orang lain, sombong, adigang adigung adiguno, tidak mau bertegur sapa dengan sesama, mencaci dan seabrek artikulasi perilaku-perilaku tidak baik menurut ukuran manusia, konstitusi, undang-undang, atau ajaraan Agama kita. Sabar tipe menghindari perkara yang tidak baik ini biasanya lebih berat dibanding dengan sabar menjalankan ketaatan, tetapi yang dapat mengukur adalah invidu masing-masing dan sesuai dengan konteks kehidupannya. Orang kadang bisa untuk menjalankan ketaatan secara istiqomah, tetapi belum tentu dapat menghindari larangan-larangan yang diingkari oleh Agama dan kemanusiaan kita. Maka tidak heran kadang orang rajin untuk sholat, dermawan, sudah haji, tetapi kadang menebar fitnah, hoaks, adu domba, caci maki kepada sesama, menebar aib atau kejelekan orang lain, atau bahkan karena terlanjut mendapat atribut status sosial yang tingi di masyakat (borju), akhirnya merasa yang paling dekat dengan Allah, paling berhak untuk masuk surga, dan lain sebagainya. Untuk itu dalam suasana rutinitas demokrasi tahun ini, penting sekali kita aktualisasikan sabar dalam menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak baik.

Selanjutnya adalah sabar atas musibah yang menimpa kita. Musibah menurut Islam mempunyai pengertian tersendiri. Musibah itu tidak selamanya dapat diartikan sebagai tanda-tanda murka Allah atau keburukan. Demikian pula dengan nikmat, tidak selamanya sebagai pertanda mendapat ridha Allah. Tetapi, bahagia dan musibah kedua-duanya merupakan hukum Allah terhadap makhluknya. Allah bermaksud menguji hambanya yang beriman dengan kebaikan dan keburukan, agar dengan ujian ini Allah dapat mengetahui sampai di mana kebenaran imannya. Sebagaimana ayat al-Qur’an ”wa basyir al-shabirin, alladhina idha ashabathum mushibat qalu inna lillahi wa inna ilayhi rajiun”, dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka berkata sesungguhnya ini adalah milik allah dan sesungguhnya semuanya kembali kepada nya). Menurut penulis kandungan ayat ini adalah kegembiraan, ketidak sukaan, kekecewaan dalam kehidupan ini adalah kehendak Allah. Sebagai orang yang beriman bisakah kita menerima kekecewaan, kegembiraan sebagai perwujudan kehendak Allah. Tentu itu bukan hal yang mudah bagi kita. Sebagaimana manusia kadang kita bisa menerima kemenangan, kesenangan, kegembiraan dalam kehidupan kita, tetapi sulit untuk menerima kekecewaan, keburukan, kekalahan, menimpa kepada kita. Maka semangat sabar pada tipe yang ketiga ini juga sesuatu yang sangat penting dalam kontestasi pemilu Indonesia tahun ini. Karena kita semua adalah orang yang beriman, meyakini keyakinan Agama masing-masing, tentunya segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan orang yang beriman harus selaras dengan apa yang diyakininya selama ini, baik kita sebagai pemenang kontestasi maupun sebagai pihak yang kalah. Atau jawaban yang lain dalam kontestasi ini adalah semua yang terjadi inilah yang terbaik untuk hamba Allah menurut Allah, bukan menurut hambanya. Karena kita sebagai hamba Allah tidak mengetahui mana yang terbaik untuk diri kita sendiri. Mungkin Kemenangan itu yang terbaik dan mungkin juga kekalahan itu yang terbaik.

Dan tipe sabar yang lain menurut al-Ghazali adalah sabar atas ketentuan (taqdir) Allah. Sebagai sabar kelompok sebelumnya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah berdasarkan ketentuan Allah Rabul Izzati. Manusia sebagai hambanya di beri hak untuk berikhtiyar sesuai dengan kemauannya, tetapi ending dari semua usaha manusia tetap akan kembali kepada kuasa Allah. Kita di beri hak untuk berpartisipasi dalam alam demokrasi ini sesuai dengan perannya masing-masing. Semua dari kita berperan sebagai pemilih dalam pemilu, sebagaian sebagai calon legislative, sebagaian sebagai panitia pemilu, sebagaian sebagai pengamat, sebagaian sebagai peneliti, sebagaian sebagai calon pemimpin dalam tingkatannya, tetapi seluruh kita tetap bermuara kepada kepuusan Tuhan yang maha Esa Allah Swt. Dalam sebuah dawuhnya kanjeng Nabi Saw. bersabda “Man Lam Yardla bi Qadla’i, fa al-Yathlub Rabban Siwaya…”, barang siapa tidak ridla dengan ketentuan-ketentuan Allah maka carilah Tuhan selain Allah. Artinya Keputusan atau taqdir dalam ajaran agama Tauhid menempati posisi pokok dalam keimanan ajaran Tauhid. Maka sikap sabar dalam menerima keputusan Allah adalah sebuah akhlaq yang mulia bagi hamba Allah di sisinya. Sejak awal, rutinitas lima tahunan kegiatan pesta demokrasi ini sudah dirancang sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang mempunyai kewenangan, sesuai dengan perannya. Sebagian mungkin sesuai dengan keinginan seseorang, tetapi sebagian mungkin mengecewakan. Sebagian mungkin diposisikan sebagai orang yang kalah dalam kontestasi, tetapi sebagian di posisi sebagai pemenangnya. Sebagai posisi apapun kita, baik sebagai pemenang atau yang kalah, jika dikembalikan kepada theologi keTuhanan kita, maka sebenarnya semuanya telah berposisi sebagai hamba Allah yang dalam satu muara yaitu kehendak Allah. Sikap kerelaan atau sabar untuk mengembalikan kepada yang berkehendak, itulah yang harus kita tanamkan dalam sikap kita sekarang ini. Dan sikap sabar dan rela ini harus menjadi sifat bagi orang yang beriman, dengan menjadikannya basic utama dalam melakukan perbuatannya. Implikasinya dalam demokrasi ini semuanya akan menjadi pemenang dalam kacamata teologi kita. Hasil dari pemilu kita yang sesuai dengan keinginan seseorang, itu merupakan kehendak Tuhan disebut sebagai pemenang, Juga yang tidak sesuai dengan keinginan dan kepentingan kita disebut sebagai pemenang pula.

Demikianlah sebenarnya theologi kita dalam berdemokrasi, apalagi dalam konstitusi bangsa Indonesia, sila yang pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya kehidupan berbangsa dan bernegara kita di Bumi Nusantara ini jelas mempunyai landasan theologis yang jelas, bahwa landasan utamanya adalah berdimensi Ketuhanan (Ilahiyah). Baik dari sisi kehidupan ekonomi, politik, sosial, seni budaya, pendidikan, religious (keagamaan), olah raga, pengelolaan hutan, kelauan, pengelolaan aset Bangsa, administrasi dan lain sebagainya. Semuanya di dasari oleh theologi yang meramu antara aspek keTuhanan dan aspek kemanusiaan. Terimaksih semoga bermanfaat!

Categories: Kajian

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *