Pesantren dan Pemimpin Nasional
Oleh: Dr. KH. Asmawi Mahfudz, M.Ag
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan dengan suasana politik Nasional akhir-akhir ini, yang penulis anggap mengkhawatirkan. Dengan banyaknya berita-berita yang mengatasnamakan agama atau organisasi sosial keagamaan tertentu, berakibat dengan menjelek-jelekkan kelompok yang lain, partai yang lain, ideologi yang lain. Apalagi dengan ditopang oleh arus informasi dan media sosial yang begitu bebasnya, akhirnya kadang menabrak sendi-sendi akhlaqul karimah, budaya bangsa, tradisi yang sudah menjadi ikon bangsa Indonesia yang berbudaya luhur. Hari ini seolah luntur dengan perilaku-perilaku kepentingan yang sudah tidak sesuai dengan ajaran agama, kultur, tradisi yang kita pegang teguh sejak nenek moyang kita.
Penulis ingin mengungkap kembali kekuatan budaya bangsa Indonesia yang santun, ramah, memegang teguh tradisi, juga mempunyai potensi religiusitas yang kuat di bumi Nusantara ini. Ini dapat direnungkan kembali bagaimana konstalasi politik Nusantara pada saat kerajaan-kerajaan Hindu atau saat penyiaran Islam, sesudah Islam masuk di Indonesia, juga sampai paskakemerdekaan, di bumi Nusanatara ini selalu memegang teguh budaya dan potensi religiusitas sebagai sebuah bangsa. Maka ending dari semua perjalanan kesejarahan politik Nasional selalu diwarnai oleh dua hal penting ini, yaitu hubungan yang selalu harmonis antara kekuatan budaya juga agama.
Institusi yang sejak lama memegangi dua hal penting itu menurut penulis adalah pondok pesantren. Pernyataan ini bukan hal yang tidak berdasarkan, tetapi didasarkan pada perjalanan kesejarahan pondok pesantren di Nusantara, mulai dari zaman kerajaan-kerajaan, kolonialisme, paskakemerdekaan sampai kepada saat ini. Pesantren dapat membuktikan eksistensinya sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan, lembaga sosial, lembaga ekonomi, lembaga agama, lembaga budaya dan sebutan lain untuk pondok pesantren di Indonesia.
Sebagai lembaga dakwah dapat dibaca dalam referensi-referensi sejarah pesantren, awalnya memang sebagai institusi yang dipegang oleh para penyiar-penyiar Islam Nusantara. Pada saat menyiarkan Islam mereka berdialektika dengan masyarakat sekitar yang menjadi obyek dakwah. Hasil dialektika ini menjadikan pesantren menunjukkan peran di masyarakatnya dalam berbagai bidang kehidupan yang dihadapinya, tergantung dinamika masyarakat sekitarnya. Saat itu pesantren menjelma sebagai institusi pendidikan karena mengajarkan ilmu, peran sosial keagamaan karena membimbing masyarakat untuk taat kepada ajaran Islam, berperan sebaga lembaga politik ketika masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan politik dari pemimpin pesantren. Pesantren juga sebagai tempat laboratorium budaya karena di dalamnya banyak diamalkan tradisi, adat istiadat, kebiasaan masyarakat. Sebagaimana di Kediri di Pesantren Lirboyo yang mengajarkan seni bela diri, di Ponorogo ada tradisi reog, pada masa Wali Songo terdapat bedug, wayangan, juga ada budaya bernyanyi, menari dan lain sebagainya.
Sebagai lembaga politik, pesantren juga menampilkan kekuatan sosial yang diperhitungkan sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara dulu sampai sekarang. Ini bisa kita baca pada saat kerajaan Majapahit, kerajaan Kediri, Kerajaan Banten, Kerajaan Singosari, Kerajaan Samudera pasai, kerajaan Demak, kerajaan Mataram dan seterusnya sampai era awal kemerdekaan, Orde Baru dan Reformasi. Pesantren dan kiai selalu bersinergi dengan para raja-raja atau penguasa di wilayahnya masing-masing. Pada masa kerajaan-kerajaan terdapat tokoh-tokoh nasional pesantren bersinergi dengan raja untuk menyelesaikan problem-problem umat. Misalnya Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, para Wali Songo, dan para ulama lainnya. Pada masa kemerdekaan para kiai dan pesantren juga berpartner dengan pemimpin Soekarno untuk mempertahankan kemerdekaan, sebagaimana yang dilakukan KH Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Agus Salim, Wahid Hasyim, KH Mahrus Ali, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansuri, KH Abbas dan lain sebagainya.
Pada masa Orde baru yang dipimpin oleh H Muhammad Soeharto, pondok pesantren, kiai juga berperan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru. Di antara kiai itu adalah KH Mahrus Ali Lirboyo Kediri, KH Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, KH As’ad Samsul Arifin Situbondo, KH Thohir Widjaya dari Blitar, KH Maemun Zubair Sarang , KH Ali Yafie Jakarta, KH Sahal Mahfudz Pati, KH Ahmad Sidiq Jember, KH Mustain Romli Jombang. Malah dialektika kiai-ulama saat ini lebih dinamis dikarenakan rezim Orde Baru dan para ulama-ulama berdialiktika yang dibangun begitu dinamis sesuai dengan kondisi politik tanah air. Pada saat ini ketika kiai dapat bersinergi dengan pemerintah akhirnya dapat membangun Masjid seluruh tanah air hampir di setiap kecamatan yang dimotori oleh KH Thohir Widjaya, alumni PP Lirboyo yang dengan diplomasinya dapat mempengaruhi penguasa dalam mengambil kebijakan-kebijakan keagamaanya.
Juga pada masa Reformasi sekarang ini, kita diperlihatkan dialektika pesantren atau kiai dengan pemimpin negeri ini. Yang pada puncaknya dapat mengantarkan seorang tokoh pesantren menjadi Presiden Republik Indonesia keempat, yaitu KH Abdurahman Wahid. Pada saat Reformasi ini dapat dilihat juga bagaimana sinergi pesantren dan kiainya dengan pemerintah. Sebagaimana perjuangan tokoh-tokoh pesantren dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Taruhlah seperti KH Ali Yafie dan KH Sahal Mahfudz yang memberdayakan hukum Islam dengan tema Fiqih Sosial, Gus dur dengan perjuangan demokrasi, pluralisme, tema membumikan Islam. KH Qadri Azizi memperjuangan fiqih dengan tema ijtihad dengan saintifik modern, Emha Ainun Najib mengkolaborasikan seni buaya dan agama dengan tema Padhang Bulan, Din Samsudin dengan tema Islam berkemajuan, Tuan Guru Zaini Martapura, Habib Luthfi Pekalongan, KH Asrori Surabaya dengan pemberdayaan Cinta Rasul dan taarekatnya, KH Zainudin MZ dengan dakwah sejuta umatnya. Pondok Pesantren Sidogiri yang sukses mengembangkan potensi ekonomi masyarakat sekitar dengan koperasi pondok pesantrennya, KH Said Aqil Siroj mendakwahkan Islam Nusatara, Pondok Gontor yang sudah mempunyai alumni yang bertebaran seantero Nusantara, mereka juga berperan di bumi Nusantara dan lain sebagainya.
Paparan itu dapat dipahami bahwa pesantren dengan perannya yang multidimensi telah menghasilkan tokoh-tokoh Nasional maupun Internasional, juga membuktikannya sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang. Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana pesantren dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin Nasional, padahal institusi ini bukan lembaga kaderisasi pemimpin politik, sebagaimana lembaga partai politik? Jawabannya beragam. Di antarannya adalah sistem kepemimpinan di pesantren menggabungkan potensi budaya (culture) dan religiusitas. Pesantren dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dipimpin oleh seorang kiai atau ulama. Terminologi kiai dan ulama adalah dua istilah yang mensinergikan dua dimensi yakni kiai adalah budaya dan ulama adalah istilah agama. Kiai artinya adalah seseorang yang ditokohkan sedangkan ulama adalah orang yang mapan dalam pengetahuan keagamaannya.
Pesantren mempunyai dua istilah ini dalam kehidupan sehari-harinya. Seorang kiai berperan sebagai tokoh panutan yang diikuti oleh santri-santrinya dan masyarakat sekitarnya. Dia juga seorang ulama yang mengetahui secara mendalam ilmu-ilmu agama yang kemudian diamalkan membentuk suri tauladan atau uswah hasanah oleh orang-orang di sekitarnya. Jadilah seorang kiai adalah ulama dan ulama juga kiai pesantren, yang dia menjadi profil tokoh panutan bagi orang-orang sekitarnya baik dari kalangan santri, alumni maupun masyarakat umum. Maka akan terlihat di dunia pesantren, seorang kiai memberikan solusi atau menjadi tempat bersandar seluruh urusan masyarakat, baik masalah klenik, kesehatan, doa, agama, ekonomi penyakit sosial, kenakalan remaja, keamanan, pidana konflik keluarga dan sebrek problematika sosial masyarakat. Inilah kemudian yang menjadikan kiai pesantren! ulama, menjadi tokoh yang mengakar di masyarakatnya. Sesuai dengan dawuh Rasulullah “Sayid al-Qawmi Khadimuhum, Pemimpin masyarakat adalah pelayan bagi mereka”. Apa yang di-dawuh-kan oleh kiai, perbuatannya, keputusannya akan selalu menjadi ukuran dan panutan bagi umat di sekitarnya.
Dengan profil demikian tidak mudah memerankan tokoh kiai pesantren di Nusantara ini. Karena dalam diri mereka terdapat potensi budaya dan religius yang bersinergi dalam dirinya. Mungkin ini nantinya yang memunculkan istilah sosiologi kepemimpinan kharismatis dalam dunia pesantren. Kepemimpinan model kharismatik ini akhirnya tidak mudah digantikan oleh orang sembarangan, kalau dia tidak mempunyai kekuatan budaya dan agama yang kemudian menghasilkan kharisma. Maka sistem pergantian atau suksesi kepemimpinannya menggunakan dua pendekatan di atas, yaitu budaya dan agama. Artinya orang yang dapat mengganti kiai atau ulama adalah dia yang mempunyai kekuatan budaya yang tercermin dalam nasab, genealogi keturunan yang sama, juga kekuatan agama yang mumpuni.
Role model kepemimpinan pesantren ini nampaknya relevan dengan model khazanah kepemimpinan yang ada dalam tradisi bangsa Indonesia, yang di mulai masa kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja, seorang yang secara nasab kekeluargaan dari golongan kesatria dan kemampuan agama Hindu budaya mumpuni. Masa awal kemerdekaan oleh Ir Soekarno yang nota bene menggabungkan kekuatan budaya dan kemampuan ilmu, dia juga bersinergi dengan para ilmuwan dan tokoh-tokoh agama.
KH Abdurahman Wahid sebagai presiden keempat juga berusaha menggabungkan kekuatan budaya dan agama. Dia secara intelektual menggelorakan pribumisasi Islam dan secara sosial keagamaan adalah seorang kiai dan ulama juga. Demikian seterusnya bahwa sejarah kepemimpinan di Nusantara selalu saja ada penggabungan antara kekuatan budaya dan agama.
Sisi lain kekuatan pesantren dapat menghasilkan kepemimpinan adalah ajaran akhlaqul karimah yang dimiliki oleh pesantren. Di pesantren selain mempunyai kekuatan budaya dan agama, juga mempunyai potensi akhlak yang mulia. Ajaran-ajaran agama sebagai bentuk manifestasi tafaquh fi al-din tidak hanya dilihat dari perspektif intelektual rasional saja, atau perspektif sosial empiris saja, tetapi juga perspektif spiritual intuitif. Artinya ilmu agama atau ilmu yang telah dikaji di pesantren didalami secara intelektual, dipraktekkan di ranah social, juga dihiasi dengan ajaran-ajaran spiritual dengan berdasarkan hati yang bersih, keikhlasan, selalu minta petunjuk Allah, keistiqamahan dan ajaran-ajaran akhlak yang lain. Misalnya terdapat ajaran tawadlu (merendahkan diri) di Pesantren dalam hal kepemimpinan. Maka prakteknya selalu akan mendahulukan tokoh-tokoh senior (sesepuh) untuk memimpin pesantren, lembaga sosial, lembaga pendidikan dan lain sebagainya. Dengan ajaran ini di dunia pesantren selalu bisa menyelesaikan masalah kepemimpinan kalau tokoh-tokoh senior atau para sesepuh sudah membuat keputusan atau memberikan arahan. Tidak akan terjadi konflik yang berkepanjangan jika selalu memegang ajaran akhlaq berupa sikap tawadhu’ semacam ini.
Untuk itu sudah seyogianya pondok pesantren dengan pengalaman empirisnya sejak zaman kerajaan samapai sekarang dapat mengantarkan para tokohnya untuk bisa berperan dalam skala yang labih luas, tidak hanya pemipin dalam satu organisasi Nahdlatul Ulama saja, tetapi menjadi pemimpin Negara atau Bangsa Indonesia dengan beragam cultur, budaya, ideologi, strata sosial, agama, suku dan yang lain. Karena sejarah sudah membuktikan bahwa tokoh-tokoh pesantren dapat membuktikan kepemimpinanya sesuai dengan tingkatannya masing-masing, baik di level regional, Nasional maupun Internasional. Semoga bermanfaat. Wa Allahu A’lamu!
Penulis adalah pengajar di IAIN Tulungagung, Pengasuh Pesantren Al-Kamal Tulungagung, dan Mustasyar NU Blitar.
Artikel ini telah dimuat di: NU Online
0 Comments