Berharap kepada Wakil Baru

Published by admin on

Kemarin legislatif kita, dewan perwakilan rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)  yang baru, telah dilantik, untuk periode 2019-2024. Sebagai rakyat konstituen tentunya banyak ekspektasi yang kita sandarkan kepada wakil kita di senayan, untuk mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi sesuai dengan cita-cita bersama mewujudkan kesejaheraan atau kemaslahatan rakyat. Semua anggota dewan sekarang benar-benar menjadi wakil rakyat yang sah, yang berjuang untuk kepentingan rakyat Indonesia, walaupun berangkat dari partai dan latar belakang yang berbeda-beda, tetapi tujuannya tetap satu yaitu mewakili rakyat untuk kepentingan rakyat. Kondisi ideal ini juga tidak bias menutup mata bahwa semua anggota dewan perwakilan semuanya adalah manusia biasa, yang tentunya ada potensi yang besar sebagai kelebihan dan mempunyai kekuarangan layaknya insan sebagai hamba Allah, di samping salah,lupa, kealpaan sebagai sebuah keniscayaan. Maka dalam kehidupan ini dibuatlah hokum, norma, etika, sopan santun yang menuntun kita bersama agar selalu konsisten dengan sikap ideal (istiqamah).  Dalam sebuah Sya’ir diungkapkan “ Tegaknya sebuah bangsa hanya dengan moral atau budi pekerti, jika mereka tidak tak berbudi tinggal tunggu kehancuranya saja…”. Artinya sebesar apapun potensi bangsa ini, kalau tidak dapat mempertahankan, merawat tradisi, budaya, sebagai nilai-nilai yang termanifestasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sulit bagi kita untuk maju atau bahkan kita akan mengalami kemunduran.

Salah satu elemen bangsa yang terdepan harus menjaga nilai-nilai moral luhur ini adalah para penyelenggara negara ini. Karena moralitas adalah sesuatu yang dilakukan bukan diucapkan, tindakan bukan tulisan, pelaksanaan bukan kekuasaaan, essensi bukan teori, aplikatif bukan normatif, amaliah bukan ilmiyah dan seterusnya. Seperti apa yang difirmankan Tuhan dalam al Qur’an :Sungguh akan mendapat kemurkaan yang besar disisi Allah, jika kamu semua mengatakan sesuatu  tetapi tidak mengerjakanya (al-Shaf: 30). Para penyelenggara negara ini adalah para pemimpin di negeri ini, pada level apapun, mulai dari eksekutif paling bawah, anggota dewan, komisi-komisi negara sampai kepala negara. Ini dapat belajar dari kepemimpinan dalam sejarah Islam yang dimulai dari kepemimpinan Nabi Muhammad Saw yang disebut oleh Fazlurahman dengan Hight Tradition. Kebiasaan Nabi yang dipraktekkan merupakan sebuah tuntunan bagi umatnya dalam kehidupanya, baik kehidupan secara individu maupun kehidupan sosial bermasyarakat. Model kepemimpinan masa Nabi, nampaknya juga sejalan dengan filsafat jawa “Ing Ngarso Sun Tulada Ing Madya Mangun Karso Tut Wuri Handayani”

Untuk memudahkan pemahaman tentang kepemimpinan Rasul Saw., Ahmad ibn Sa’id ibn Hazm al-Andalusi menjelaskan akhlaq atau etika Kepemimpinan yang harus dilaksananakan dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu; Al-adl (adil), al-Fahmu (kemampuan Intelegensia), al-Najdah (Keberanian), al-Jud (Kedermawanan), al-Amanah (dapat dipercaya), al- Iffah ( Kesederhanaan).( Ibn Hazm: Tt, II, 116-117)

Al-Adl, dalam konteks kepemimpinan dan ke-Indonesiaan, pada tingkat manapun akan selalu berhadapan dengan masyarakat yang terdiri dari kelompok yang plural, proses politik juga berhadapan dengan berbagai kelompok atau golongan, maka orang yang terpilih menjadi pemimpin harus mampu berdiri di atas semua golongan . Untuk itu diperlukan sifat keadilan “adalah”.  Azas kepemimpinan  adalah keadilan. Berbuat adil agaknya menjadi standar minimal bagi manusia berkaitan dengan tanggung jawabnya. Kalau dalam Islam semua orang adalah pemimpin maka dengan sendirinya harus menegakan keadilan di manapun dia berada. Apakah ketika dia jadi seorang wakil rakyat, kepala daerah, manager, orang biasa atau jabatan tertentu.

Al-Fahmu, kemampuan Intelektual, yakni sesuatu yang berhubungan dengan jasa pengetahuan, tugas yang dibebankan kepada manusia berakal, untuk bertindak sesuai dengan potensi logika dan rasionalisasinya. Karena manusia yang berfikir jernih pada umumnya tidak tergila-gila dengan hak yang bukan miliknya, sehingga mendorong untuk bertindak anarkhis kepada sesama. Dengan demikian seorang pemimpin dalam mengelola sebuah bangsa harus menggunakan potensi intelektualitasnya untuk bertindak dengan sifat-sifat utama, sesuai ajaran Allah dan Rasulullah.

Al-Najdah, Keberanian. Usaha seseorang untuk merelakan kematianya dalam memperjuangkan Agama, orang yang tertindas, tetangga yang teraniaya, orang yang membutuhkan pertolongan, membela ketidak adilan. Meninggalkan sifat-sifat keberanian ini adalah pengecut yang hanya membuang-buang energi dalam mencari kesenangan dan jabatan duniawi. Dalam managemen sumber daya manusia, ketegasan seorang pemimpin dalam memilah dan memilih (verifikasi) sebuah informasi dari bawahannya adalah sangat menentukan.

Al-Jud. Kedermawanan. Mendistribusikan kelebihan harta demi kebajikan (al-bir). Khususnya untuk menolong orang yang membutuhkan, fakir miskin, rakyat jelata. Seorang pemimpin yang menyembunyikan hartanya (kikir), merupakan bentuk kedzaliman dari tanggung jawabnya, atau memberikan segala sesuatu tidak berazaskan manfaaat juga merupakan pemborosan (tabdzir) yang tercela.

Al- Shidqu wa Al-Amanah. Kejujuran (obyektif) dan dapat dipercaya. Ini mengisyaratkan kepada dua hal. Pertama, apabila manusia berkuasa di muka bumi, menjadi khalifah, maka kekuasaan yang diperoleh menjadi pendelegasiaan kewenangan dari Allah SWT (delegation of Authority. Karena Allah sumber segala kekuasaan dengan demikian kekuasaan yang dimiliki hanyalah sekedar amanah dari Allah, yang sifatnya relatif, kelak harus dipertanggung jawabkan dihadapanya. Kedua, karena kekuasaan itu amanah,maka pelaksanaanyapun memerlukan amanah. Dalam hal ini adalah sikap penuh tanggung jawab, jujur dan memegang teguh prinsip kebenaran. Sebagian ulama mengartikan amanah dengan “Hukum-hukum Tuhan” (the divine law) atau Sunnatullah, maka kita dilarang untuk mengkhianati amanat –amanat Allah dan Rasulnya.

Al-Iffah, Kesederhanaan. Esensi kesederhanaan adalah kemampuan untuk menahan diri dari pandangan mata, atau indera-indera lainya dalam menyukai apa yang tidak diperbolehkan. Implikasi dari larangan ini adalah timbulnya hawa nafsu, yang selalu mendorong manusia untuk berbuat yang tidak baik, jahat yang bertentangan dengan syari’at.

Al-Syura, mengutamakan musyawarah. Musyawarah adalah instusi yang menjadi media untuk menampung semua ide dalam menyelesaikan masalah secara bersama-sama, untuk mencapai cita-cita besama. Konsep inilah yang dianggap paling ideal sehingga dipilih oleh para pendiri bangsa ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam musyawarah ada kebersamaan, keragaman ide, juga terdapat keberkahan karena dilakukan oleh orang banyak. Untuk itu pada masa kekinian sudah tidak relevan lagi kalua muncul sikap tirani, otoritarianisme, apalagi Indonesia berbasis masyarakat yang plural, dari berbagai suku, bangsa dan agama. Musyawarahlah yang menjadi sarana untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Implikasi dari prinsip demokrasi ini juga akan menciptakan kondisi tidak adanya monopoli kekuasaan. Ini disinyalir dalam al-Qur’an, al-Hasyr:7 “kaila yakuna dulatan bainal aghniya I minkum” supaya tidak berputar di antara orang-orang kaya di antara kamu…. Artinya semua elemen bangsa ini berpartisipasi, mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran, baik pemilik modal, borju atau rakyat jelata yang proletar.

Dari uraian tersebut secara implisit dapat dipahami bahwa mulai bulan oktober ini presiden dan wakil presiden kita baru, wakil rakyat kita baru, diikuti oleh pejabat-pejabat lain juga baru, mereka semua adalah pemimpin sebagai bagian dari mahkluq sosial (zoon  politicon) berlandaskan moral yang ada, dituntut dapat mengantarkan orang yang dipimpinnya rakyat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebuah entitas masyarakat berperadaban, menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan akhlaq. Hal ini juga sesuai dengan misi Islam diturunkan ke muka bumi sebagai penyempurna perilaku manusia. Kaitan ini menarik untuk mengutip terminologi tokoh filsafat Islam klasik dengan sebutan al-Insan al-madaniyun bi al-thabi’i. makhluq sosial yang berperadaban. Selamat kepada semua yang di lantik menjadi penyelenggara Republik ini, semoga membawa berkah untuk bangsa Indonesia tercinta. Wa Allahu A’lam.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *